Antara Misinformasi dan Disinformasi: Urgensi Literasi Informasi di Era Digital
"Proses validasi informasi adalah kunci. Informasi yang disampaikan ke publik harus melewati tahapan penyaringan dan pengecekan fakta yang ketat.."
Penulis: M. Ridwan Habibie | Sumber: Dwi Sudarsono | Foto: AI Generated | Editor: Ipnu S.
SH Terate Tangsel – Dalam era serba cepat dan digital seperti sekarang ini, informasi dapat menyebar dengan sangat luas hanya dalam hitungan detik. Namun kecepatan tersebut tidak selalu sejalan dengan akurasi. Tak jarang, publik terjebak pada pusaran informasi yang tidak valid dan berujung pada kepanikan, kesalahpahaman, bahkan konflik sosial. Di sinilah pentingnya membedakan dua istilah kunci dalam ekosistem komunikasi digital: misinformasi dan disinformasi.
Salah Kirim Informasi: Kepanikan Massal yang Tak Perlu
Bayangkan skenario ini: di sebuah grup WhatsApp warga kompleks, seseorang mengabarkan bahwa akan ada razia besar-besaran kendaraan oleh pihak kepolisian di jalan utama dekat perumahan. Spontan, grup tersebut riuh. Warga yang hendak keluar rumah menunda keberangkatan, pengemudi ojek daring mengalihkan rute dan orang-orang mulai menyebarkan pesan itu ke grup lain.
Beberapa jam kemudian, informasi itu ternyata tidak benar. Tidak ada razia dan sumber pesan pun tidak bisa dikonfirmasi.
Kasus seperti ini adalah contoh klasik dari misinformasi — informasi yang salah namun disebarkan tanpa niat buruk. Biasanya terjadi karena orang yang menyebarkan tidak melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Misinformasi vs Disinformasi: Memahami Bedanya
Agar tidak terjebak dalam pusaran informasi keliru, kita perlu memahami dua istilah penting ini:
- Misinformasi adalah kesalahan informasi yang tersebar secara tidak sengaja. Pelaku tidak berniat menyesatkan, namun karena kurangnya validasi atau literasi digital, informasi salah itu tetap menyebar.
- Disinformasi adalah sebaliknya: informasi palsu atau menyesatkan yang dibuat dan disebarluaskan dengan tujuan tertentu—entah untuk menipu, merusak reputasi, mengadu domba, atau meraih keuntungan pribadi maupun politik.
Konsekuensi dari keduanya bisa sama-sama merugikan. Bedanya terletak pada niat dan kesengajaan.
Validasi Informasi: Senjata Utama Humas dan Media
Dalam konteks komunikasi organisasi maupun kerja jurnalistik, proses validasi informasi adalah kunci. Informasi yang disampaikan ke publik harus melewati tahapan penyaringan dan pengecekan fakta yang ketat.
Setidaknya ada tujuh tahapan kerja komunikasi yang ideal agar informasi yang disebarluaskan benar dan bertanggung jawab:
- Menerima pesan sebagai masukan awal.
- Mengecek kredibilitas sumber pesan.
- Mencari referensi pembanding, terutama jika sumber belum tepercaya.
- Melakukan analisis isi, mencermati logika, data pendukung dan potensi bias.
- Mengolah pesan menjadi narasi yang utuh dan proporsional.
- Melakukan publikasi melalui saluran resmi.
- Melakukan evaluasi atas dampak dan respons publik.
Proses ini bukan hanya tanggung jawab jurnalis atau humas, tetapi juga setiap individu yang terhubung ke ruang digital.
Era Digital, Era Literasi Informasi
Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet di Indonesia, media sosial telah menjadi kanal utama masyarakat dalam menerima informasi. Namun sayangnya, tak semua pengguna memiliki literasi digital yang memadai.
Menurut laporan Digital News Report 2024, Indonesia termasuk negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap informasi di media sosial, tetapi rendah dalam hal verifikasi. Artinya, masyarakat cenderung langsung percaya dan menyebarkan tanpa mengecek.
Pendidikan literasi informasi kini menjadi kebutuhan mendesak. Sekolah, komunitas, media dan pemerintah memiliki tanggung jawab kolektif untuk membangun ekosistem informasi yang sehat.
Menjadi Netizen yang Bertanggung Jawab
Dalam dunia yang hiperterhubung, setiap orang adalah produsen sekaligus konsumen informasi. Menjadi warga digital yang bertanggung jawab artinya tidak hanya menerima informasi, tetapi juga memilah, memverifikasi dan menyikapi dengan bijak.
Sebelum menyebarkan sebuah informasi, selalu ajukan tiga pertanyaan penting:
- Apakah ini benar?
- Siapa sumbernya?
- Apa dampaknya jika saya menyebarkan?
Literasi Informasi adalah Pilar Demokrasi
Kesehatan demokrasi sangat bergantung pada kualitas informasi yang beredar di masyarakat. Ketika ruang publik dipenuhi hoaks, kebohongan dan manipulasi, maka keputusan yang diambil oleh publik pun bisa keliru.
Dengan memahami perbedaan antara misinformasi dan disinformasi, serta membangun budaya validasi informasi, kita tidak hanya melindungi diri sendiri—tetapi juga menjaga integritas sosial, kebebasan berpikir dan masa depan demokrasi Indonesia.
Tim Humas Cabang Kota Tangsel
Tags: #SHterate #PusatMadiun #HumasSHterate #SHTerateCabangTangsel #Medium